Selasa, 21 Maret 2017

Epik Lama, Tokoh Baru

"Aku hanya berpesan, jika setelah ini kamu berubah, tolong bilang dulu, biar aku siap-siap...", pintaku pasrah.

"Apaan coba...", sambil bernajak pergi, menghilang.

Itu kata terakhirmu pagi ini yang aku dalami sambil memandangi anjing putih yang sedang terbaring lemas di tepi ranjangku itu. ku hanya terdiam memandangi keheningan yang seakan-akan sudah menunggu di depan pintu kamarku, mengajakku mengarungi hari ini dengan penuh kehampaan. Matahari pagi yang sinarnya juga ikut sendu ketika harus menerobos celah-celah tirai di jendela, menerpa rasa sesal akibat lagi-lagi harus menjatuhkan cinta dengan cara yang salah. Lagi.

Pada awalnya, sebenarnya aku sudah yakin, ketika  seseorang menggantungkan kebahagiaannya pada seseorang, saat itu pula kita regangkan kesedihan bersama bayang-bayangnya. Aku tahu itu akan sangat menyakitkan ketika terjadi, tapi itu dia pertaruhannya. Kita tak akan pernah tahu apa yang kita dapat dan hanya bisa menaruhkan harap, seberapa besarpun kita berikan taruhan perasaan kita.

Menarik ketika aku coba menilik bagaimana semua ini dimulai. Ketika pertama kali melihatmu, aku hanay seketika diam, memikirkan raga apa yang harus kutunjukkan, elegan layaknya Rama, atau begajulan seperti Rahwana, karena aku juga tak tahu, seberapa bagus kamu memerankan karakter Dewi Sinta. Namun, seiring berjalannya waktu kini, Aku sadar, Aku hanya Hanoman baik hati yang mencoba memisahkanmu dari cinta yang salah, untuk mungkin nanti, di lain hari, membawamu pada siapa sebenarnya "Rama"-mu itu.

Semuanya sekarang hanya sisa-sisa tanda tanya yang ada. Menggelantung bagai kain Drupadi yang di tarik Dursasana, tak ada habis-habisnya. Satu-satunya kalimat yang muncul mengalahkan untaian tanda tanya itu adalah...

"Tolong, jangan pergi, kecuali tak akan ada yang kamu sesali..."




Senin, 06 Maret 2017

Metamorfosa Kisah Kita

Hari itu, saat dua tatap bertemu untuk pertama kalinya. Saling bertukar kisah yang sebenarnya sama-sama tidak ada pentingnya. Berlanjut pada empat mata yang sama-sama menikmati langit pekat di malam Jakarta yang tiba-tiba diguyur hujan.

Kamu bercerita tentang bagaimana kamu begitu suka memetik gitar sambil memekikkan sebait dua bait lagu yang kamu puja itu. Sedang aku, hanya fokus pada bagaimana untuk tetap memberikan perhatian penuh pada ceritamu itu.

Saat itu, kita hanya sepasang yang tidak mau kegalauannya saling meradang. Sama-sama tidak ingin untuk memperlihatkan sayatan-sayatan yang sudah sedikit mengering di hati dan pikiran.

Setahun berjalan di bawah janji-janji itu, Aku dan Kamu bagai orang-orang yang sedang tenggelam dalam kubangan yang hanya melihat kemanisan. Walau tetap saja banyak kesakitan dalam perjalanannya, kita tetap sama-sama meyakinkan, untuk sama-sama berpegang pada kata habis gelap terbitlah terang.

Ketika prosa "Aku sayang Kamu" dan "Aku juga sayang Kamu" sudah hanya jadi kewajiban sebelum menutup mata di hari yang sebenarnya suram, setidaknya buatku, itulah waktu yang tepat untuk benar-benar menutup kisah yang sebenarnya kita sama-sama saling jaga.

Kini, untuk saling menyapa pun, bukan kita tidak bisa, hanya saja, masih perlukah kita saling memberatkan pikir imaji masing-masing? Aku membiarkan kamu menjadi sebuah kupu-kupu tanpa kepompong yang aku yakin, akan jadi lebih indah ketika bisa sendiri terbang di nirwana. Lalu, tolong biarkan aku menjadi sebuah ulat yang tetap memandangmu tanpa berharap untuk menjadi kupu-kupu di kemudian hari.

Kisah itu, biar jadi sesuatu yang akan kita tertawakan bersama, entah sama-sama sebagai kupu-kupu, atau akan tetap berada pada jarak sejauh pucuk daun tertinggi dengan batas terakhir awan yang kamu dapat terbangi.

Minggu, 12 April 2015

Sesederhana Itu Saja

"Kenapa kalau ada nyamuk orang-orang kebanyakan malah tepuk tangan?"

"Biar kalau kena tangan nyamuknya mati..."

"Berarti nyamuknya ga sengaja mati karena orangnya seneng. Terus kenapa orang-orang bela-belain beli obat buat nyamuk, padahal dengan tepuk tangan aja bisa mati?"

"Karena pengen sesuatu yang simple, ga ribet"


Kamu tahu ketika sesuatu yang tidak pernah kita duga muncul begitu saja dipikiran dan langsung menyedak ke kerongkongan untuk tiba-tiba keluar dikatakan, itu namanya spontan.

Sama ketika kamu membuat suatu lukisan tentang seorang yang kamu kagumkan, kamu mencoba membuatnya seindah karya Michelangelo dan sesemiotik karya Ghirlandaio, tapi yang kamu buat malah tidak lebih dari gambar gunung, sawah, dan di tengahnya ada jalan, ya gambar anak-anak yang sudah melegenda, itu mungkin namanya kurang kerjaan.

Kamu tahu, usaha berbanding lurus dengan hasil, tapi kamu harus tahu, rumus matematika seperti itu tak bisa sejalan dengan yang namanya perasaan.

Ketika kamu sadar akan hal itu, kamu juga akan sadar, semua tidak bisa begitu saja disama-ratakan, harus ada yang namanya gelombang naik turun dalam sebuah usaha. Kadang kamu harus total, kadang juga hanya dengan diam.

Satu lagi yang perlu kamu ingat, sederhana itu kadang lebih menghasilkan. Seperti nyamuk tadi yang kamu kira bisa senang karena mati ditepuk tangan, padahal semuanya hanya sesederhana antara usaha dan hasil, manusia yang berusaha, nyamuk yang mendapat hasil. Manusia yang membeli obat, nyamuk yang mati.

Tapi kamu juga harus melihat usaha nyamuk itu terkadang, bagaimana dia bisa mati? Karena dia ingin hidup dari cairan merah yang membuat manusia juga hidup. Tapi sayang, kita hanya melihat sesuatu yang jelas kelihatan, tanpa pernah melihat usaha kecil yang seringnya tidak kentara.

Kamu akan tahu sesegera mungkin, tahu dengan cara yang sederhana dengan paham yang tak rumit.

Berterima kasih lah pada dia yang sudah membuatmu sadar, akan pentingnya kesederhanaan.



Untuk Kamu,
YAN

Selasa, 31 Maret 2015

Salah

Dua tahun itu bukan waktu yang lama untuk kembali membuka sesuatu yang banyak mengundang nyinyir juga tawa. Aku masih ingat, satu kalimat rasa terakhir yang kau ucap, itu entah sebuah tanda titik atau koma yang menyudahinya. Tapi, Aku yakin, kita sama-sama sepakat kalau tanda itu adalah koma. Buktinya, ada sebuah sambungan kalimat untuk melanjutkan kisah dalam bentuk tatap harap yang terukir samar di matamu itu, minggu lalu.

Ketika untuk pertama kalinya setelah dua tahun yang sepi itu, kamu kembali lagi menanyakan apa kabar Ku. Haruskah Aku ragu kalau itu hanya basa-basi agar tidak bisu?

Hahaha...sepertinya Aku sudah mulai terlalu jauh berkhayal. Aku lupa, kesalahan yang dulu kita sama-sama buat, tidak mungkin terulang untuk kedua kalinya. Setidaknya bagiku begitu, tidak tahu kalau ada hal lain di pikirmu. Kalau iya, mungkin Kamu bisa sekali lagi menyapaku, besok, di kampus, ketika Aku dengan lancang duduk di depan kursi meja kerjamu. Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan Aku kalau kita benar-benar akan melapas rindu yang kini masih kita batu.

Jakarta, hari Selasa pukul 2.

Sabtu, 21 Desember 2013

Madu, Racun, dan Senyum-mu

Bagian I

Terduduk di sampingmu,
bak tengah meneguk madu yang diendapi racun.

Rasa-rasa manis dan memabukkan,
ibarat tengah tenggelam di palung terdalam samudera di satu pulau di surga sana.

Sayangnya, ada racun yang tengah mengintai,
menunggu untuk membelalakkan sakitku,
dan menikam jantungku yang sebenarnya sudah rapuh.

Kamu madu dengan racun,
yang siap memicingkan mata jahatnya padaku.
Yang mau tak mau harus Ku telan,
seolah tak ada sakit, demi manismu.


Bagian II
 
Melihat rekah senyum-mu di pagi itu,
buati sebilah rasa yang bertumpuk rindu.

Mentari memang mampu hidupkan mawar,
namun seyum-mu lah yang buatkan harum pada nya.

Andai bisa Ku bingkai dalam kanvas putih,
lukisan senyum-mu itu,
logam mulia pun tak bernilai,
jika bersanding di ambangmu.

Tolong, jaga terus senyum itu.
Hidupku ini, Ku kaitkan pada bahagia di senyum-mu.